Jumat, 16 April 2010

Cahaya Kota Medan dari Sunggal



“Darimana…..? Sunggal? Kampung yang banyak kuburannya itu? Wah, nggak mungkin ada orang Sunggal bisa jadi calon walikota Medan. Kayak katak hendak terbang ke bulan saja mereka, hehehe….!”


Begitulah reaksi spontan orang jika mengetahui lawan bicaranya orang Sunggal. Ada nada sinis, sekaligus melecehkan di sana. Intinya, orang Sunggal itu warga pinggiran. Warga kelas dua. Tak usah punya cita-cita tinggi. Lho, kok ini ada yang mau jadi calon walikota?

“Sakit hati saya mendengar omongan tersebut. Tapi malam ini, bersama saudara-saudara sekalian, kita bisa buktikan bahwa putra Sunggal, Sofyan Tan, ternyata bisa juga menjadi calon walikota Medan!”teriak dr. Sofyan Tan. Nada suaranya berapi-api. Tempik sorak warga Sunggal, langsung membahana. Yel-yel “Hidup Sunggal”, “Putra Sunggal Yes, Sofyan Tan Oke” saling bergantian memenuhi udara Sunggal yang cerah malam itu.

Tak kurang dari 3.000 warga Sunggal malam itu memang tumplek ke tengah-tengah Lapangan Basket Gelora Sunggal milik Yayasan Sosial Go Sia Kong So Jalan Pinang Baris, Sunggal. Sebuah panggung raksasa berukuran sekitar 6 meter x 15 meter berdiri kokoh. Sebuah poster raksasa yang menampilkan foto Sofyan menjadi background panggung. “Malam Pemberangkatan Putra Sunggal Dr. Sofyan Tan Menuju Kursi Medan 1”, begitu nama acara malam itu.

“Merinding bulu tangan saya menyaksikan massa yang hadir. Bahkan saya hampir menangis, baru kali ini ada sebuah pertemuan politik di Sunggal yang dihadiri ribuan warga”,tutur Taufan, salah seorang tokoh masyarakat Sunggal. Bersama Marudut Naibaho, Taufan merupakan dua dari puluhan orang yang terlibat aktif menggagas acara malam itu. Seolah masih hampir tak percaya, Taufan masih menambahkan:

“Massa benar-benar memludak, saya terharu, terharu…”,tambah pria yang sehari-hari mengusahakan besi bekas itu. Ribuan bangku plastik yang disiapkan panitia, memang tak lagi mampu menampung warga yang datang. Alhasil banyak yang harus berdiri sepanjang acara. Ada juga yang terlihat duduk-duduk di atas sepeda motor. Bahkan sebagian ada yang rela menggelosor di lantai semen.

Malam itu seolah menjadi malam milik Sofyan Tan dan warga Sunggal yang hadir. Sofyan Tan adalah putra Sunggal kelahiran 25 September 1959. Dari atas panggung, malam itu ia berubah menjadi singa podium. Tidak kurang dari 25 menit ketika menyampaikan orasinya, nada suara Sofyan Tan terus terdengar berapi-api. Ia mampu menyihir warga Sungal yang hadir untuk tak meninggal tempat acara. Terkadang ia harus berhenti karena setiap kali berhasil membangkitkan harga diri warga Sunggal, tepuk tangan dan yel-yel kembali bergemuruh.

Beberapa tokoh masyarakat yang hadir pun terlihat ikut bertepuk tangan. Bahkan mereka kerap mengacungkan jari tangan mereka. Terlihat beberapa tokoh masyarakat Tionghoa hadir di situ, misalnya ada Khai Guan, juga Kwik Sam Ho, Karya Elly, Jasmin Chandra, Anam Aleng Subur, Acuk Appolo, Ahie, Hui Jordan, A Hong, A Puan, Hok An dan yang lain. Sedangkan tokoh masyarakat lain juga ada seperti Datuk Bahar, Ustaz H. Harun Habib, dan Nadli.



Cahaya Kota Medan dari Sungal

Ihwal orang Sunggal kerap “tak dihitung”, memang bukan cerita karangan. Sofyan Tan, bahkan mengalaminya sendiri. Dalam orasinya, ia lalu berkisah. Suatu saat, ketika masih sekolah di Medan, ia bertutur soal cita-citanya jadi dokter. Bukannya mendapat pujian atau dukungan, teman-teman SMA-nya dari Medan malah tertawa.

“Kamu orang kampung, mana mungkin jadi dokter?”ujar Sofyan, menirukan kata-kata mereka. Dibalas seperti itu, Sofyan remaja tentu saja sakit hatinya. Tapi ibarat pedati yang kena cambuk, “penghinaan” itu justru memicunya untuk belajar keras. Dan terbukti, ia bisa menjadi dokter. Sofyan juga kerap mendengar ejekan bahwa orang Sunggal umumnya tak banyak “makan sekolah” alias tak terdidik. Ia mengaku “panas” mendengar sindiran itu. Karena itu begitu lulus jadi dokter tahun 1990, Sofyan Tan memutuskan terjun mengelola Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Sekolah yang ia didirikan sejak tahun 1988.

Praktek dokternya ia tinggalkan. Ia kemudian menyantuni anak-ank Sunggal yang miskin agar bisa sekolah yang bagus. Jumlah anak asuhnya sudah ribuan orang. Sebagian dari mereka bahkan sudah banyak yang jadi “orang”. Tahun 2003, ia terpilih sebagai Ketua Presidum Forum Nasional Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

“Bayangkan, putra Sunggal bisa keliling-keliling wilayah Indonesia dengan gratis untuk membagi-bagikan ilmu tentang manajemen usaha kecil. Jadi siapa bilang orang Sunggal tidak bisa berprestasi?”,tegasnya lantang disambut tepuk tangan warga. Ia lalu memberikan kesaksian lain. Tahun 2009, ketika menyatakan diri sebagai bakal calon wakil walikota Medan, ia ditertawakan.

“Sofyan, kamu itu orang Tionghoa, Budhis lagi, mana mungkin jadi calon wakil walikota?”tutur Sofyan mengisahkan tanggapan beberapa kenalannya. Tapi Sofyan Tan tak kecil hati. Ia tetap aktif melakukan lobi-lobi ke berbagai pihak. Apalagi PDI Perjuangan, partai tempatnya bergabung, telah memutuskan dirinya sebagai bakal calon wakil walikota. Namun kenyataan pahit harus dihadapinya. Calon pasangan walikota yang semula digadang-gadang hendak dipasangkan, ternyata memilih pasangan lain.

“Waktu itu sudah tanggal 8 Februari 2010. Saya hendak digunting lawan-lawan politik agar tak bisa maju dalam pilkada,”tuturnya. Tanggal 13 Februari, KPUD Medan memang akan menutup masa pendaftaran calon dari Parpol. Namun keajabain Tuhan datang, demikian istilah Sofyan. Tanggal 10 Februari ia dipanggil Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri ke Jakarta. Di depan pengurus DPP PDI Perjuangan lain, Megawati langsung bilang: “Sofyan kamu harus maju sebagai calon walikota Medan!”ujar Sofyan.

Terkejut adalah reaksi pertama yang ia perlihatkan. Itu manusiawi. Ia mengaku sempat seperti tak menginjak bumi. Tapi semangat Sofyan bangkit setelah muncul kesadaran bahwa kepercayaan yang diberikan PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri adalah sebuah amanah. Apalagi ketika tanggal 11 Februari, Pengurus DPP PDS (Partai Damai Sejahtera) juga ikut mencalonkannya.

“Jadi saudara-saudara sekalian, Sofyan Tan, putra asli Sunggal, akhirnya malah dipercaya untuk menjadi calon walikota, bukan calon wakil walkota lagi,”katanya. Ia berharap kepercayaan itu tak disia-siakan oleh masyarakat Sunggal. Walau berasal dari etnis Tionghoa, Sofyan mengaku bahwa jabatan walikota adalah jabatan untuk masyarakat Medan. Bukan jabatan untuk suku-suku tertentu saja.

Dalam kesempatan itu, Sofyan juga menyinggung sekilas visi-misinya jika terpilih sebagai walikota Medan. Ia berjanji bahwa jalan menuju Sunggal yang selalu berlobang-lobang, akan ia aspal dan muluskan. Ia juga sudah memprogramkan memberikan beasiswa bagi 2.000 anak-anak SMA atau sederajat yang tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Orang-orang yang mengurus izin usaha juga tak perlu susah-susah lagi. Kami sudah memprogramkan izin usaha keliling, termasuk untuk pembuatan KTP dan KK,”tambahnya.

Acara “Malam Pemberangkatan Putra Sunggal dr. Sofyan Tan Menujui Kursi Medan 1” juga diramaikan sejumlah pentas kesenian. Acara berakhir sekitar pukul 23.00 WIB. Walau cuku larut, tak terlihat ada gurat kelelahan di wajah warga Sunggal.

Beberapa warga Tionghoa Sunggal yang diminta komentarnya mengaku sangat senang mendengar secara langsung pidato Sofyan Tan.

“Bagi saya, Sofyan itu ibarat Cahaya Kota Medan yang dikirim dari Sunggal,”ujar A Kiam. Semula A Kiam hanya sering mendengar nama Sofyan Tan. Tapi malam itu ia mengaku beruntung karena dapat melihat sendiri Sofyan Tan. Ia mengaku menjadi semakin mantap untuk memilihnya. Ia lalu mengutip sebuah pepatah Mandarin. “Thuan Ciek Ciu Se Lik Liang”, yang artinya kurang lebih begini: “jika kita bersatu, maka kita akan kuat!” Wah, setuju!

** Dimuat Harian Medan Bisnis, 13 April 2010

Minggu, 04 April 2010

Sofyan Tan Sumbang Buku ke Perpustakaan Rutan Medan

Medan, Xun Bao

Ungkapan Buku adalah Gudang Ilmu tampaknya disadari betul oleh calon Walikota Medan dr Sofyan Tan. Karenanya, dia menyumbangkan buku untuk perpustakaan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Tanjung Gusta Medan, akhir pekan kemarin untuk menambah wawasan dan pengetahuan warga binaan di rutan tersebut.

Buku ini bermanfaat untuk dibaca terutama bagi kita yang ingin menggapai sukses dalam hidup. Semoga buku ini menjadi sumber inspirasi, ujar Sofyan Tan ketika dalam sambutannya dihadapan warga binaan rutan.

Dikatakan Sofyan, buku tersebut menceritakan bahwa kesuksesan diraih bukan tanpa hambatan. Untuk itu, siapa saja yang ingin sukses harus menanamkan rasa optimis dalam dirinya. Jika kita yakin bisa, maka kita pasti akan bisa meraih sukses itu, jelasnya.

Calon Medan satu yang berpasangan dengan Nelly Aramayanti ini menambahkan,terpilih atau tidaknya dia jadi Walikota Medan, dia tetap akan menyumbangkan buku untuk mengisi kekosongan perpustakaan rutan. Karena, kata dia, buku merupakan salah satu sarana untuk memperoleh ilmu sebagai bekal buat warga binaan rutan untuk melanjutkan hidup. Satu buku mencerminkan sejuta pengetahuan, ujarnya

Sementara itu, Wakil Kepala Rutan Eka Sihombing menyampaikan terima kasih kepada dr Sofyan Tan. Dia berharap buku tersebut dapat bermanfaat bagi warga binaan.

Dalam kesempatan itu, dia mengajak para pengusaha dan seluruh tokoh Kota Medan untuk berpartisipasi menyumbangkan buku seperti yang dilakukan dr Sofyan Tan. (Fuad)

Jumat, 02 April 2010

Sofyan Tan Tak Tega Menyakiti Pohon

MEDAN (SI) – Merasa tak tega menyakiti pohon, calon Wali Kota Medan Sofyan Tan instruksikan pada tim pemenangan dan tim relawan untuk tidak memakukan atribut kampanye ke pohon.

“Itu sudah instruksi resmi yang harus dilakukan tim pemenangan dan relawan untuk tidak menempelkan atribut kampanye dan sosialisasi dengan paku ke pohon. Cukup diikatkan saja,” ujar calon nomor urut 10 itu kepada wartawan di Medan, kemarin.

Pantauan harian Seputar Indonesia (SI) tidak ditemukan satupun poster atau baliho pasangan Sofyan Tan dan Nelly Armayanti yang dipakukan ke pohon. Umumnya atribut kampanye yang menempel di pohon hanya diikat dengan kawat dan tali. Sebagian besar atribut kampanyenya dipasang dengan penyangga dari kayu broti dan papan reklame resmi.

Sofyan menegaskan kalau pohon juga bagian dari makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang. Dengan memakukan atribut kampanye ke pohon berarti sama dengan menyakitinya. Bahkan dapat menghambat dan merusak pertumbuhan pohon.

Dia mengaku miris jika pohon penghijauan dijadikan korban untuk mengkampanyekan diri. Padahal pohon memberikan oksigen untuk kehidupan manusia. “Pohon itu memberikan oksigen bagi kita. Jadi kenapa harus disakiti dengn memakukan poster kita ke batangnya. Ini sama saja dengan perbuatan zalim,” ujar pemilik Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda itu.

Untuk itu dia menegaskan dan meminta pada masyarakat untuk segera memberitahu ke sekretariat tim pemenangan atau relawan yang tersebar di setiap kelurahan jika ada ditemukan atribut kampanyenya yang dipakukan ke pohon. Dia siap mencabutnya sesegera mungkin.

“Mungkin masih ada satu dua poster yang begitu. Karena itu saya minta untuk segera dilaporkan untuk dicabut. Karena instruksi saya jelas untuk tidak memakukan atribut kampanye di pohon,” tegasnya.

Calon Wakil Wali Kota Medan Nelly Armayanti menambahkan kalau komitmen mereka sangat tegas dan jelas. Jangankan untuk menyakiti perasaan rakyat, pohon pun tak luput dari perhatian mereka.

“Kalau pohon saja kami tidak berani menyakitinya apalagi masyarakat. Karena itu komitmen kami jelas dan tegas maju untuk perubahan dan perbaikan,” tandas mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan itu.

Sebelumnya, Pemko medan sudah mengeluarkan rambu larangan untuk tidak memakukan atribut kampanye dan sosialisasi di pohon penghijauan. Namun himbauan tersebut sepertinya tak digubris oleh sebagian besar pasangan calon. Sebab hampir semua pasangan calon menempelkan posternya di pohon dengan paku.

(m rinaldi khair)

Kamis, 01 April 2010

PEDAGANG TAK PEDULI ETNIS CALON WALIKOTA

MEDAN (SI) – Pedagang Pasar Tradisional Simpang Melati, Kelurahan Tanjung Selamat, Medan Selayang mengaku sudah tidak peduli lagi dari mana asal dan etnis calon wali kota Medan. Sebab bagi mereka semuanya belum ada yang berpihak pada pedagang pasar.

“Tidak peduli kami dari etnis mana yang jadi calon. Semuanya sama saja. Meskipun dari etnis yang sama pun tetap saja kami digusur-gusur,” kata Eka Maria Ginting salah seorang pedagang sayur di Pasar Simpang Melati ketika di kunjungi pasangan calon Wali Kota Medan Sofyan Tan dan Wakil Wali Kota Medan Nelly Armayanti kemarin.

Eka Maria merasa lelah setiap hari harus berhadapan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Medan yang melarang mereka berjualan. Padahal yang mereka lakukan untuk memenuhi nafkah keluarga.

Dia menegaskan, kalau umumnya pedagang siap mendukung calon manapun meskipun bukan dari etnis yang sama dengan mereka untuk maju sebagai Wali Kota Medan selama ada kepastian kalau pedagang pasar tradisional tidak akan digusur lagi.

“Meskipun dari etnis tionghoa kami siap mendukung dan memilihnya kalau dapat memberikan kepastian kami tidak akan digusur terus untuk berjualan,” ujarnya.

Hal yang sama juga dikatakan Litna salah seorang pedagang buah di pasar tersebut. Dia tidak akan memilih calon wali kota yang satu marga atau satu suku kalau tetap hanya menyengsarakan rakyat kecil yang ingin mencari nafkah halal di Kota Medan.

Litna mengaku lelah harus berhadapan dengan Satpol PP setiap kali ingin berjualan. “Kami dari jam dua tadi belum bisa berjualan karena diusir Satpol PP. Bahkan di atas parit pun tidak boleh,” katanya.

Mendengar keluh kesah para pedagang tersebut, calon nomor urut 10, Sofyan Tan menegaskan tidak ada yang berhak menggusur para pedagang kecil selama belum ada solusi yang dapat ditawarkan. Pemerintah tidak bisa sewenang-wenang mengerahkan aparatnya menggusur para pedagang tanpa memberikan jalan keluar.
“Selama belum diberikan solusi bagi pedagang pasar tradisional, tidak seorang pun bahkan pemerintah melarang mereka dalam mencari nafkah yang halal. Pedagang harus melawannya jika itu dilakukan,” kata Sofyan Tan yang didampingi Nelly Armayanti.

Menurutnya solusi bagi pedagang tradisional sangat mudah jika kepala daerahnya bersih dan memiliki kemauan kuat untuk memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Pedagang cukup diberikan rasa aman dan nyaman untuk berdagang di lokasi yang layak dan tidak jauh dari tempatnya berjualan. Pemerintah bisa mensubsidinya atau bekerja sama dengan perusahaan melalui program corporate social responsibility (CSR/tanggung jawab social perusahaan) yang tidak mengikat.

Sumber: Sindo, Kamis, 1 Januari 2010, foto: http://www.sumutcyber.com/