Selasa, 30 Maret 2010

MEMBANGUN MEDAN YANG TERTATA. SEJAHTERA DAN MODERN


Kota Medan yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda, sejak awal dikembangkan dengan konsep the green city (atau kota hijau). Tidaklah mengherankan jika nama-nama jalan di kota Medan banyak mempergunakan nama buah-buahan dan pepohonan seperti jalan Mangga, Manggis, Langsat, Mahoni, Jati dan lain sebagainya.

Menurut Bachtiar Hazan Miraza, tanaman buah-buahan dan pepohonan itu bahkan ditanam di pinggir jalan atau di halaman rumah penduduk. Semuanya berpengaruh pada semakin hijaunya dan semakin teduhnya kota Medan pada saat itu. Pohon mahoni, pohon kecapi dan pohon keras lainnya juga ditanam dijalan jalan di tengah kota. Pohon mahoni ditanam disepanjang jalan menuju ke pelabuhan Belawan yang panjangnya 25 km dari pusat kota.

Pengembangan kota Medan sebagai kota hijau, tidak terlepas dari sejarah kelahiran kota tersebut yang semula oleh kaum pengusaha perkebunan Eropa, dijadikan sarana untuk tempat peristirahatan, sekaligus kota perdagangan. Rintisan pengembangan Kota Medan itu sendiri, yang oleh orang-orang Eropa dulu dijuluki sebagai ‘Paris van Sumatera” Hindia Belanda, dimulai tahun 1862 ketika seorang pengusaha Belanda, Jacob Nienhuys mengetahui manfaat dari tanah-tanah gunung berapi yang sangat subur untuk usaha perkebunan tembakau. Nienhuys mendesak Sultan Deli agar memberi konsesi penyewaan tanah-tanah tersebut untuk diusahakan sebagai perkebunan tembakau. Ternyata tembakau Deli yang dipakai untuk cerutu dengan cepat menjadi terkenal keseluruh dunia sejak akhir abad ke 19 hingga sekarang.

Selain berhasil menjadikan Deli sebagai daerah perkebunan tembakau, karet dan kelapa sawit, konglomerasi pengusaha Belanda juga berhasil membangun jaringan kereta api yang menghubungkan Langkat, Deli dan Serdang, sebuah jaringan telegram, pelabuhan, irigasi, sarana air bersih dan sekolah-sekolah. Pada abad 19, Medan sudah menjelma sebagai kota perdagangan dan industri perkebunan terkemuka untuk zamannya.
Warisan-warisan kolonialisme konglomerasi ekonomi Belanda, sampai saat ini masih bisa dikenali. Misalnya bangunan-bangunan stasiun kereta api (Deli Spoorweg Maats-cappij), gedung Balaikota, Gedung Bank Indonesia, Kantor Pos Besar, Gedung PT Lonsum (london Sumatera), Hotel Dharma Deli dan Gedung PT Lloyd.

Kisah keemasan ekspor tembakau Deli boleh dibilang seperti sudah tutup layar. Sejumlah lahan perkebunan tembakau di kawasan Kota Medan sudah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, bisnis dan peruntukan lainnya. Sedikit sekali yang tersisa, kecuali lahan-lahan perkebunan yang secara administratif tergabung dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang. Kota Medan dalam perkembangannya menjadi kawasan yang miskin dengan hasil-hasil sumber daya alam. Kota ini, terutama, menghidupi diri dari jasa perdagangan dan perhotelan serta industri.

Transformasi ekonomi perkebunan ke ekonomi modern, sebenarnya sudah dimulai sejak dekade 1980-an. Kala itu ekonomi Indonesia memperoleh rezeki nomplok dari naiknya harga minyak mentah di pasar dunia. Imbasnya terasa sampai ke Sumatera Utara, khususnya Medan. Hadirnya industri sumpit, pakaian, makanan, gelas, hingga kimia, berbarengan dengan tumbuhnya pusat perbelanjaan, bank swasta, hotel, perbengkelan, dan lain-lain, telah membuka peluang tumbuhnya ekonomi perkotaan Medan.

Sejalan dengan itu, perkembangan kota Medan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa, juga tidak terlepas dari posisi geografis yang strategis. Sebagaimana diketahui, kota Medan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, di mana di Kecamatan Medan Belawan terdapat Pelabuhan Laut Belawan yang merupakan pintu gerbang pengangkutan barang dari Pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya. Sedangkan di bagian barat terdapat Bandara Internasional Polonia.

Posisi ini menjadikan Medan berkembang sebagai pintu gerbang perdagangan barang dan jasa domestik maupun internasional. Lewat Bandara Polonia, kota Medan memiliki hubungan langsung dengan Penang (Malaysia), Kualalumpur (Malaysia), Ipoh (Malaysia), Langkawi, Singapura sementara penerbangan di dalam negeri dari Medan mempunyai frekuensi tinggi khususnya dengan ibukota negara Jakarta, Denpasar (Bali) dan beberapa tujuan lain di pulau-pulau bagian barat Indonesia. Dewasa ini, Medan juga sudah mempunyai penerbangan langsung dari Medan ke Korea Selatan dan sebaliknya.

Dominannya sektor perdangan dan industri dalam mengisi struktur ekonomi Medan bertahan hingga sekarang. Hal ini misalnya tercermin dari perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap PDRB pada kondisi harga berlaku tahun 2005-2007, yang menunjukkan bahwa pada 2005, sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 70,03 pesen, sektor sekunder sebesar 26,91 pesen dan sektor primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 26,34 persen, sub sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen dan sub sektor industri pengolahan sebesar 16,58 persen.

Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70 persen, sekunder sebesar 28,37 pesen dan primer sebesar 2,93 persen. Masing masing lapangan usaha yang dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen, industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41 persen.

Demikian juga pad a tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota Medan, yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen dan sektor primer sebesar 2,86 persen. Masing-masing lapangan usaha yang dominan memberikan kontribusi sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha transportasil telekomunikasi sebesar 19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 16,28 persen. (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar: